Senin, 21 November 2016

Minggu, 23 Agustus 2015

Tips & Kiat Tes Rekrutmen CPNS Kementerian Keuangan


Alhamdulillah, itulah kata yang tepat untuk mewakili ungkapan rasa syukur penulis di penghujung tahun 2014. Atas izin Allah SWT serta dukungan & doa dari orang tua, penulis berhasil melalui tahapan seleksi CPNS yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Saat ini penulis berada di Direktorat Jendral Pajak. Penulis dulu pernah iseng berujar jika lolos nanti, penulis akan berbagi informasi tentang kiat seleksi penerimaan CPNS Kemenkeu. Karena ternyata sekarang memang benar terealisir, maka dari ujaran iseng tersebut, penulis mempunyai tangggung jawab moral untuk menepati janji (nadzar) tersebut. Nah inilah wujud dari janji tersebut, penulis akan coba bagikan selengkapnya informasi yang ada sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman penulis. Harapannya informasi yang dibagikan ini dapat memberikan wawasan dan mengantarkan pembaca di jalur keberhasilan berikutnya. Aamiin.☺
Sebelum beralih ke pokok pembahasan, perlu penulis sampaikan bahwa mulai tahun 2015 penerimaan CPNS tidak akan diadakan di masa pemerintahan Joko Widodo kecuali untuk tenaga medis dan pendidik. Hal tersebut sebagai imbas kebijakan moratorium yang dilakukan Presiden melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) Yudi Chrisnandi untuk melakukan efisiensi belanja pegawai dan memaksimalkan kinerja serta produktivitas PNS yang sudah ada. Walaupun demikian bukan berarti penerimaan CPNS akan berhenti total, akan ada evaluasi setiap tahun untuk penyesuaian kebutuhan pegawai di tiap instansi.
Kementerian Keuangan merupakan salah satu instansi yang mengajukan permohonan pengecualian. Alasannya jumlah SDM yang ada saat ini jauh dari kata ideal akibat jumlah wajib pajak lebih banyak daripada jumlah fiskus atau petugas pajak. Perbandingannya 1 petugas pajak harus melayani 8.000 wajib pajak potensial. Menurut mantan Dirjen Pajak Fuad Rahmany paling tidak kebutuhan pegawai baru untuk Ditjen Pajak adalah 10.000 orang. Disamping itu penambahan SDM juga untuk memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak yang mencapai Rp 1.200 triliun (APBN 2015). Menilik dari alasan tersebut sudah sewajarnya KemenPAN RB menyetujui dan merealisasikan permohonan penambahan pegawai baru. ~
Oke, selanjutnya mulai masuk ke intinya. Di sini penulis akan membagi tulisan ini kedalam 3 periode waktu. Pertama saat tahap pendaftaran/registrasi,  tahap seleksi tes, dan terakhir tahap pasca pengumuman. Semua tahapan akan coba penulis jabarkan sehingga informasi dari pengalaman penulis insyallah dapat tersampaikan seutuhnya.

Jumat, 26 September 2014

RUU Pilkada dan Opini

RUU Pilkada hari ini telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang. RUU yang menjadi polemik berkepanjangan dan telah menyita perhatian publik ini telah memasuki babak final yang menurut penulis menghasilkan keputusan yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat. Kebetulan penulis juga salah satu yang tertarik mengikuti proses legislasi di DPR secara langsung walaupun melalui siaran televisi :D. Dan inilah yang dapat penulis rangkum serta opini dari RUU Pilkada.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kontroversi terkait RUU Pilkada terletak tentang tatacara pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Apakah akan dilaksanakan secara langsung atau pemilihan secara tidak langsung (melalui DPRD). RUU Pilkada pada awalnya merupakan gagasan yang dimotori oleh pemerintah dalam hal ini menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi. Pemerintah saat itu menginginkan agar penyelenggaraan pilkada dilakukan melalui DPRD. Alasan yang diungkapkan pemerintah tersebut terkait tentang pilkada langsung yang dianggap memberikan banyak dampak negatif. Diantaranya tingginya biaya kampanye dan penyelenggaraan pemilu, politik uang, banyaknya kasus korupsi yang menimpa kepala daerah pilkada langsung, politik dinasti, dan potensi konflik horizontal. Akan tetapi usulan tersebut tidak pernah mendapatkan tanggapan positif dari DPR seperti fraksi dari Golkar, PAN, PKS, PPP, Gerindra yang notabene merupakan gabungan dari partai koalisi Merah Putih. 
Hingga ketika pilpres usai digelar sikap partai-partai tersebut berubah 180 derajat menjadi mendukung pilkada secara tidak langsung. Tentu saja perubahan sikap tersebut dibaca masyarakat sebagai suatu bentuk pragmatisme. Ketika Koalisi Merah Putih di pilpres mengalami kekalahan dan gugatan terhadap hasil pilpres tidak dikabulkan MK, seolah-olah mereka beralih mengatur strategi untuk "menguasai" pemerintahan daerah untuk menciptakan dan memperkuat mobilisasi di tingkat daerah. Apalagi umur anggota DPR periode 2009-2014 tinggal beberapa hari, semakin tercium aroma nuansa politisnya agar RUU segera disahkan. Dengan komposisi koalisi yang besar di parlemen tentunya akan meguntungkan bagi koalisi Merah Putih jika pilkada melalui DPRD. Inilah yang menurut penulis mendorong koalisi Merah Putih untuk mendukung RUU Pilkada tidak langsung. 
Hasil rapat paripurna yang berakhir dinihari tadi telah meghasilkan keputusan. Rapat yang dimulai dari pagi dan sempat diskors selama 5 jam dan berakhir pukul 02.00 WIB menetapkan bahwa RUU Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada tidak langsung. Sebelumnya rapat berlangsung alot dan hujan interupsi mewarnai jalannya rapat antara dua kubu, koalisi Merah Putih dan koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari PDI Perjuangan, Hanura, dan PKB. Alotnya rapat tersebut juga terjadi di luar rapat melalui lobi-lobi antar fraksi dan atau anggota DPR saat masa skors, yang menyebakan rapat baru dimulai lagi pukul 23.30 WIB dari rencana pukul 19.30 WIB. 
Patut dicermati dari proses rapat paripurna tersebut adalah peranan dari fraksi Demokrat yang mengambil langkah tak terduga yang krusial dan kontroversial saat jalannya rapat. Demokrat merupakan partai pemerintah yang menguasai kursi mayoritas di DPR periode 2009-2014 serta memegang peranan kunci dan pengaruh untuk menentukan arah keputusan yang diambil. Sikap Demokrat melalui pimpinan tertingginya Susilo Bambang Yudhoyono dapat dibaca sebagai dukungan terhadap penyelenggaraan pilkada secara langsung. Hal ini menjadi angin segar bagi fraksi di DPR pendukung pilkada langsung mengingat Koalisi Indonesia Hebat yang digawangi PDI Perjuangan sangat memerlukan suara Demokrat untuk mengimbangi koalisi Merah Putih.
Max Sopacua mewakili fraksi Demokrat menyampaikan pandangan partainya bahwa Demokrat menyetujui pilkada langsung tetapi dengan tambahan beberapa syarat yang harus dimasukkan ke dalam opsi dari dua opsi yang telah ada, pilkada langsung dan tidak langsung. Opsi yang Demokrat kemukakan tersebut diberi nama "opsi Pilkada langsung dengan perbaikan". Ada 10 syarat yang wajib ada dan itu sifatnya absolut dan kumulatif. Syarat yang diminta Demokrat tersebut sebenarnya beberapa telah diakomodir di RUU. Akan tetapi ada syarat yang bagi pendukung pilkada langsung perlu dipertimbangkan lagi yakni tentang tanggung jawab calon kepala daerah jika terjadi kerusuhan dan syarat uji kelayakan publik. Silang pendapatpun terjadi mengenai syarat tersebut sampai rapat diskors dan beralih ke forum lobi. 
Ketika rapat dimulai lagi sekitar pukul 23.30 WIB, Priyo Budi Santoso dari fraksi Golkar selaku pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada Demokrat untuk menyampaikan pandangan. Benny K. Harman menegaskan kembali pandangan fraksinya tentang perlunya opsi pilkada langsung dengan perbaikan. Nah, di proses inilah awal terjadinya keganjilan. Ketika menyampaikan pandangan partainya tersebut, ada ekspresi kekagetan yang tertangkap dari Benny K. Harman ketika terdengar suara dukungan yang mengemuka agar pilkada langsung dengan perbaikan dimasukkan secara utuh ke dalam opsi. Kegaduhan kembali terjadi, hujan interupsi datang bertubi-tubi hingga suatu ketika entah sengaja atau tidak tiba-tiba Priyo Budi Santoso mengetok palu satu kali yang artinya menyetujui pelaksanaan voting dua opsi padahal belum ada kesepakatan pasti. Suasana menjadi tambah gaduh dan rapat pun kembali diskors pukul 00.25 WIB.
Beberapa menit kemudian rapat kembali dimulai. Sekali lagi Priyo memberikan kesempatan kepada Demokrat untuk memberikan pernyataan. Inilah puncak kontroversi sikap Demokrat terjadi. Secara tak terduga, saat PDI Perjuangan, Hanura, PKB mendukung opsi sepenuhnya dari Demokrat justru Benny K. Harman menyatakan walk out (wo) dari jalannya sidang. Padahal sebenarnya masih ada kemungkinan pembahasan agar opsi Demokrat dapat menjadi bagian dari opsi yang telah ada lagipula belum ada keputusan dari pimpinan rapat untuk lanjut proses voting. Tentu saja sikap Demokrat tersebut mendapat reaksi beranekaragam mulai cemoohan dari pendukung pilkada langsung dan sebaliknya applause dari koalisi Merah Putih. Secara krusial keputusan walk out Demokrat menyudahi pembahasan opsi ketiga menjadi tetap dua opsi dan sudah pasti hasil voting akan memenangkan RUU pilkada tidak langsung dan faktanya memang demikian.
Bagi penulis sikap yang diambil Demokrat adalah ketidakkonsistenan dan bentuk kepura-puraan. Politik memang tidak lepas dari pencitraan tetapi jika memang Demokrat ingin melakukan politik pencitraan hendaknya lakukanlah secara elegan. Tontonan yang ditunjukkan Demokrat justru semakin memperkuat dugaan bahwa memang Demokrat pada dasarnya menyetujui pilkada tidak langsung seperti refleksi dari sikap pemerintah sejak awal. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang akan mengakhiri masa jabatan yang seharusnya bisa ditutup dengan tinta emas justru telah meninggalkan noda. Sungguh ironi, SBY yang dipilih oleh rakyat secara langsung malah menjadi bagian dari pihak yang memutus hak pilih rakyat. 
Penulis sebagai bagian dari rakyat Indonesia sangat menyayangkan hasil RUU Pilkada tidak langsung ini terutama kepada pihak legislatif yang menyetujuinya. Kedaulatan rakyat telah diamputasi, hak pilih yang hanya dilakukan 5 tahun sekali telah dirampas oleh mereka yang mengaku wakil rakyat. Hasil RUU Pilkada ini pasti akan mendapatkan tentangan sebagian besar elemen masyarakat yang peduli tentang pentingnya demokrasi yang sehat.  Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) sebagai wadah dari kepala daerah pun ikut mendukung penyelenggaraan pilkada langsung dan rencananya akan mengajukan judicial review ke MK. Semoga saja apa yang dilakukan oleh Apeksi menperoleh hasil yang positif. Kita sebagai rakyat Indonesia juga bisa ikut melawan dengan cara tidak memilih wakil-wakil rakyat dari partai politik yang secara jelas tidak berpihak kepada rakyat. Kedaulatan rakyat harus tetap ditegakkan. Jangan sampai demokrasi justru mundur ke belakang.




Jumat, 25 Juli 2014

Review Singkat Pilpres 2014



Pesta demokrasi atau Pemilihan Presiden yang diadakan 9 Juli telah dilaksanakan dan 22 Juli lalu KPU telah merampungkan rekapitulasi suara nasional dengan hasil akhir menetapkan Joko Widodo (PDI Perjuangan) sebagai presiden terpilih untuk periode 2014-2019 mengalahkan rivalnya Prabowo Subianto (Gerindra) dengan selisih lebih dari 8 juta suara. Tentunya banyak harapan yang ditujukan kepada Jokowi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Animo masyarakat yang begitu tingginya di kala pilpres dan saat masa kampanye calon presiden dibandingkan saat pemilu legislatif 9 April menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki atensi tinggi terhadap proses demokrasi di republik ini.

Masa kampanye 13 Juni - 4 Juli 2014 adalah bukti dimana inilah partisipasi masyarakat paling aktif jika dibandingkan pemilu-pemilu yang diselenggarakan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi perkembangan media komunikasi yang memberikan dampak signifikan terhadap pola dukungan masyarakat yang awalnya dilakukan secara konvensional seperti konvoi kendaraan bermotor, pemasangan atribut kampanye, dan orasi dari daerah ke daerah kini beralih menuju ranah maya. Dimana teknologi komunikasi memberikan andil penyebaran informasi yang sangat massif. Media sosial yang berkembang pesat dan terdiversifikasi serta tingginya jumlah pengguna media sosial di Indonesia menjadikan pilpres 2014 ini memiliki warna yang beraneka ragam. Berbagai macam aspirasi, opini, dan bentuk dukungan terhadap masing-masing calonnya tumpah ruah dalam dunia maya khususnya media sosial. 

Ketika rakyat berpartisipasi aktif dan menyuarakan pilihannya, hal ini tentunya merupakan gejala positif bagi perkembangan demokrasi. Sayangnya perkembangan demokrasi tersebut tidak diimbangi oleh kaidah sopan santun dan etika berpolitik. Saling menjelekkan, fitnah, dan kampanye hitam hampir mendominasi sepanjang masa kampanye dan pemilihan. Berbagai macam cara dihalalkan untuk menjatuhkan reputasi rival, tidak peduli apakah informasi yang disajikan tersebut berdasarkan fakta atau rekaan. Misalnya saja penyebaran tabloid yang menyudutkan salah satu calon yang secara jelas muatannya tidak mengikuti kaidah jurnalistik. Lalu adapula isu tentang SARA, sejarah hidup terkait masa lalu calon, isu konspirasi, dan isu-isu negatif lainnya. Bagi masyarakat terutama yang awam pastinya akan dengan mudah termakan secara mentah-mentah informasi yang belum dikonfirmasi kebenarannya tersebut. Ditambah lagi batasan antara benar dan salah pun juga bias. Apalagi terkadang elite partai pun justru ikut menjadi pemicu dengan memberikan pernyataan yang kurang pantas dan menyinggung pihak-pihak tertentu yang akhirnya berakibat terjadinya gesekan di akar rumput. Masyarakat pun terbelah, bagi mereka yang berkepala dingin tentunya tidak akan mempermasalahkan perbedaan, bagi yang tersulut hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal.

Kondisi tersebut masih diperparah dengan adanya polarisasi dukungan media massa terhadap masing-masing kandidat. Media yang diharapkan netral malah ikut terbawa arus politik. Ada yang secara tersirat menyatakan dukungan dan ada pula yang secara gamblang menunjukkan keberpihakannya. Situasi tersebut juga tidak terlepas karena adanya faktor kepentingan. Media televisi adalah contohnya. Media televisi yang memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran informasi, kebetulan sebagian besar dimiliki oleh mereka yang berperan serta menjadi tim kampanye. Khususnya media TV berita yang notabebe merupakan media independen justru terjebak pada pemberitaan yang tidak netral. Masing-masing media TV tersebut seakan berlomba memberitakan calon dukungannya dan cenderung menjelekkan lawannya. Tujuannya tentu saja untuk menggiring opini publik. Hingga KPI pun turun tangan memberikan teguran ketika muatan berita tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Salah satunya hasil quick count yang ditampilkan oleh media pendukung masing-masing kubu yang diikuti saling klaim kemenangan. Hasil quick count yang semestinya relatif sama malah menyatakan hasil yang berkebalikan. KPI pun akhirnya melarang penayangan quick count dan menghimbau masyarakat hanya berpedoman kepada putusan KPU untuk meredam gejolak dan menimbulkan salah tafsir di masyarakat.

Sampai tulisan ini dibuat sebenarnya masih ada silang sengkarut yang terjadi pasca pengumuman KPU yakni salah satu kandidat yang kalah tidak terima terhadap keputusan KPU yang dilanjutkan dengan proses penarikan diri dari segala kegiatan pemilu. Tindakan tersebut secara kacamata hukum diperbolehkan dan tidak termasuk dalam ranah hukum pidana (Otto Hasibuan-Peradi) karena telah diaggap mengikuti keseluruhan tahapan pilpres dan tidak menganggu proses pilpres yang sudah berada pada titik akhir sampai tinggal pengucapan sumpah (Jimly Asshiddiqie-DKPP). Akan tetapi dari segi politis dampaknya akan berpengaruh terhadap keabsahan pilpres itu sendiri dan ini juga berpotensi menimbulkan debat di DPR dan terkait dengan nantinya pelantikan di MPR (Otto Hasibuan-Peradi).

Walaupun proses pilpres ini belum usai kita berharap rangkaian proses pemilu ini dapat berjalan aman dan tertib. Memang segala hal masih bisa mungkin terjadi tapi tentunya kita tidak menginginkan hal yang buruk terjadi di negara kita. Situasi kondusif harus tetap kita jaga. Bagi pihak yang merasa dirugikan masih ada jalan untuk menempuh jalur hukum secara sah dan konstitusional. Bagi pihak pemenang tetap menahan diri sampai urusan terkait pemilu dan pegumuman pelantikan resmi dilaksanakan. Dan bagi kita rakyat Indonesia, mari hormati segala proses yang berlangsung dan bersama-sama bersatu padu tanggalkan perbedaan mendukung presiden yang terpilih nantinya untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. :) 


Selasa, 27 Mei 2014

Berbagi daTA (data Tugas Akhir) - (Update CGPI 2015)

Haloo, inilah tulisan awal untuk tahun 2014. Lama tidak update dan sudah banyak hal yang terjadi. Saat inilah waktu untuk menepati janji. Kembali menulis alias blogging.
Pertama penulis akan share mengenai tugas akhir. Tugas akhir yang telah membuat penulis meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk dapat menyelesaikannya. Sebenarnya bisa lebih cepat, karena suatu hal telah menghambat prosesnya. Akan tetapi alangkah tidak bijak jika menyalahkan keadaan. Anggap saja ini bagian dari kelalain penulis dan semoga teman-teman pembaca yang berkutat dengan tugas akhir tidak mengalami hal yang serupa dan dapat mengambil hikmah dari setiap proses yang terjadi.
Oleh karena itu untuk postingan kali ini, penulis ingin membagi hal berguna dan esensial kepada pembaca apa yang penulis kerjakan dan miliki dari tugas akhir ini. Yakni, data. Data yang menjadi bagian vital dari rangkaian proses penyusunan tugas akhir. Jadi jika ada diantara pembaca kebetulan membutuhkan data yang sama seperti yang penulis kerjakan dulu, silahkan gunakan data tersebut dengn bijak :)