Jumat, 25 Juli 2014

Review Singkat Pilpres 2014



Pesta demokrasi atau Pemilihan Presiden yang diadakan 9 Juli telah dilaksanakan dan 22 Juli lalu KPU telah merampungkan rekapitulasi suara nasional dengan hasil akhir menetapkan Joko Widodo (PDI Perjuangan) sebagai presiden terpilih untuk periode 2014-2019 mengalahkan rivalnya Prabowo Subianto (Gerindra) dengan selisih lebih dari 8 juta suara. Tentunya banyak harapan yang ditujukan kepada Jokowi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Animo masyarakat yang begitu tingginya di kala pilpres dan saat masa kampanye calon presiden dibandingkan saat pemilu legislatif 9 April menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki atensi tinggi terhadap proses demokrasi di republik ini.

Masa kampanye 13 Juni - 4 Juli 2014 adalah bukti dimana inilah partisipasi masyarakat paling aktif jika dibandingkan pemilu-pemilu yang diselenggarakan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi perkembangan media komunikasi yang memberikan dampak signifikan terhadap pola dukungan masyarakat yang awalnya dilakukan secara konvensional seperti konvoi kendaraan bermotor, pemasangan atribut kampanye, dan orasi dari daerah ke daerah kini beralih menuju ranah maya. Dimana teknologi komunikasi memberikan andil penyebaran informasi yang sangat massif. Media sosial yang berkembang pesat dan terdiversifikasi serta tingginya jumlah pengguna media sosial di Indonesia menjadikan pilpres 2014 ini memiliki warna yang beraneka ragam. Berbagai macam aspirasi, opini, dan bentuk dukungan terhadap masing-masing calonnya tumpah ruah dalam dunia maya khususnya media sosial. 

Ketika rakyat berpartisipasi aktif dan menyuarakan pilihannya, hal ini tentunya merupakan gejala positif bagi perkembangan demokrasi. Sayangnya perkembangan demokrasi tersebut tidak diimbangi oleh kaidah sopan santun dan etika berpolitik. Saling menjelekkan, fitnah, dan kampanye hitam hampir mendominasi sepanjang masa kampanye dan pemilihan. Berbagai macam cara dihalalkan untuk menjatuhkan reputasi rival, tidak peduli apakah informasi yang disajikan tersebut berdasarkan fakta atau rekaan. Misalnya saja penyebaran tabloid yang menyudutkan salah satu calon yang secara jelas muatannya tidak mengikuti kaidah jurnalistik. Lalu adapula isu tentang SARA, sejarah hidup terkait masa lalu calon, isu konspirasi, dan isu-isu negatif lainnya. Bagi masyarakat terutama yang awam pastinya akan dengan mudah termakan secara mentah-mentah informasi yang belum dikonfirmasi kebenarannya tersebut. Ditambah lagi batasan antara benar dan salah pun juga bias. Apalagi terkadang elite partai pun justru ikut menjadi pemicu dengan memberikan pernyataan yang kurang pantas dan menyinggung pihak-pihak tertentu yang akhirnya berakibat terjadinya gesekan di akar rumput. Masyarakat pun terbelah, bagi mereka yang berkepala dingin tentunya tidak akan mempermasalahkan perbedaan, bagi yang tersulut hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal.

Kondisi tersebut masih diperparah dengan adanya polarisasi dukungan media massa terhadap masing-masing kandidat. Media yang diharapkan netral malah ikut terbawa arus politik. Ada yang secara tersirat menyatakan dukungan dan ada pula yang secara gamblang menunjukkan keberpihakannya. Situasi tersebut juga tidak terlepas karena adanya faktor kepentingan. Media televisi adalah contohnya. Media televisi yang memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran informasi, kebetulan sebagian besar dimiliki oleh mereka yang berperan serta menjadi tim kampanye. Khususnya media TV berita yang notabebe merupakan media independen justru terjebak pada pemberitaan yang tidak netral. Masing-masing media TV tersebut seakan berlomba memberitakan calon dukungannya dan cenderung menjelekkan lawannya. Tujuannya tentu saja untuk menggiring opini publik. Hingga KPI pun turun tangan memberikan teguran ketika muatan berita tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Salah satunya hasil quick count yang ditampilkan oleh media pendukung masing-masing kubu yang diikuti saling klaim kemenangan. Hasil quick count yang semestinya relatif sama malah menyatakan hasil yang berkebalikan. KPI pun akhirnya melarang penayangan quick count dan menghimbau masyarakat hanya berpedoman kepada putusan KPU untuk meredam gejolak dan menimbulkan salah tafsir di masyarakat.

Sampai tulisan ini dibuat sebenarnya masih ada silang sengkarut yang terjadi pasca pengumuman KPU yakni salah satu kandidat yang kalah tidak terima terhadap keputusan KPU yang dilanjutkan dengan proses penarikan diri dari segala kegiatan pemilu. Tindakan tersebut secara kacamata hukum diperbolehkan dan tidak termasuk dalam ranah hukum pidana (Otto Hasibuan-Peradi) karena telah diaggap mengikuti keseluruhan tahapan pilpres dan tidak menganggu proses pilpres yang sudah berada pada titik akhir sampai tinggal pengucapan sumpah (Jimly Asshiddiqie-DKPP). Akan tetapi dari segi politis dampaknya akan berpengaruh terhadap keabsahan pilpres itu sendiri dan ini juga berpotensi menimbulkan debat di DPR dan terkait dengan nantinya pelantikan di MPR (Otto Hasibuan-Peradi).

Walaupun proses pilpres ini belum usai kita berharap rangkaian proses pemilu ini dapat berjalan aman dan tertib. Memang segala hal masih bisa mungkin terjadi tapi tentunya kita tidak menginginkan hal yang buruk terjadi di negara kita. Situasi kondusif harus tetap kita jaga. Bagi pihak yang merasa dirugikan masih ada jalan untuk menempuh jalur hukum secara sah dan konstitusional. Bagi pihak pemenang tetap menahan diri sampai urusan terkait pemilu dan pegumuman pelantikan resmi dilaksanakan. Dan bagi kita rakyat Indonesia, mari hormati segala proses yang berlangsung dan bersama-sama bersatu padu tanggalkan perbedaan mendukung presiden yang terpilih nantinya untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. :)