Jumat, 26 September 2014

RUU Pilkada dan Opini

RUU Pilkada hari ini telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang. RUU yang menjadi polemik berkepanjangan dan telah menyita perhatian publik ini telah memasuki babak final yang menurut penulis menghasilkan keputusan yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat. Kebetulan penulis juga salah satu yang tertarik mengikuti proses legislasi di DPR secara langsung walaupun melalui siaran televisi :D. Dan inilah yang dapat penulis rangkum serta opini dari RUU Pilkada.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kontroversi terkait RUU Pilkada terletak tentang tatacara pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Apakah akan dilaksanakan secara langsung atau pemilihan secara tidak langsung (melalui DPRD). RUU Pilkada pada awalnya merupakan gagasan yang dimotori oleh pemerintah dalam hal ini menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi. Pemerintah saat itu menginginkan agar penyelenggaraan pilkada dilakukan melalui DPRD. Alasan yang diungkapkan pemerintah tersebut terkait tentang pilkada langsung yang dianggap memberikan banyak dampak negatif. Diantaranya tingginya biaya kampanye dan penyelenggaraan pemilu, politik uang, banyaknya kasus korupsi yang menimpa kepala daerah pilkada langsung, politik dinasti, dan potensi konflik horizontal. Akan tetapi usulan tersebut tidak pernah mendapatkan tanggapan positif dari DPR seperti fraksi dari Golkar, PAN, PKS, PPP, Gerindra yang notabene merupakan gabungan dari partai koalisi Merah Putih. 
Hingga ketika pilpres usai digelar sikap partai-partai tersebut berubah 180 derajat menjadi mendukung pilkada secara tidak langsung. Tentu saja perubahan sikap tersebut dibaca masyarakat sebagai suatu bentuk pragmatisme. Ketika Koalisi Merah Putih di pilpres mengalami kekalahan dan gugatan terhadap hasil pilpres tidak dikabulkan MK, seolah-olah mereka beralih mengatur strategi untuk "menguasai" pemerintahan daerah untuk menciptakan dan memperkuat mobilisasi di tingkat daerah. Apalagi umur anggota DPR periode 2009-2014 tinggal beberapa hari, semakin tercium aroma nuansa politisnya agar RUU segera disahkan. Dengan komposisi koalisi yang besar di parlemen tentunya akan meguntungkan bagi koalisi Merah Putih jika pilkada melalui DPRD. Inilah yang menurut penulis mendorong koalisi Merah Putih untuk mendukung RUU Pilkada tidak langsung. 
Hasil rapat paripurna yang berakhir dinihari tadi telah meghasilkan keputusan. Rapat yang dimulai dari pagi dan sempat diskors selama 5 jam dan berakhir pukul 02.00 WIB menetapkan bahwa RUU Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada tidak langsung. Sebelumnya rapat berlangsung alot dan hujan interupsi mewarnai jalannya rapat antara dua kubu, koalisi Merah Putih dan koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari PDI Perjuangan, Hanura, dan PKB. Alotnya rapat tersebut juga terjadi di luar rapat melalui lobi-lobi antar fraksi dan atau anggota DPR saat masa skors, yang menyebakan rapat baru dimulai lagi pukul 23.30 WIB dari rencana pukul 19.30 WIB. 
Patut dicermati dari proses rapat paripurna tersebut adalah peranan dari fraksi Demokrat yang mengambil langkah tak terduga yang krusial dan kontroversial saat jalannya rapat. Demokrat merupakan partai pemerintah yang menguasai kursi mayoritas di DPR periode 2009-2014 serta memegang peranan kunci dan pengaruh untuk menentukan arah keputusan yang diambil. Sikap Demokrat melalui pimpinan tertingginya Susilo Bambang Yudhoyono dapat dibaca sebagai dukungan terhadap penyelenggaraan pilkada secara langsung. Hal ini menjadi angin segar bagi fraksi di DPR pendukung pilkada langsung mengingat Koalisi Indonesia Hebat yang digawangi PDI Perjuangan sangat memerlukan suara Demokrat untuk mengimbangi koalisi Merah Putih.
Max Sopacua mewakili fraksi Demokrat menyampaikan pandangan partainya bahwa Demokrat menyetujui pilkada langsung tetapi dengan tambahan beberapa syarat yang harus dimasukkan ke dalam opsi dari dua opsi yang telah ada, pilkada langsung dan tidak langsung. Opsi yang Demokrat kemukakan tersebut diberi nama "opsi Pilkada langsung dengan perbaikan". Ada 10 syarat yang wajib ada dan itu sifatnya absolut dan kumulatif. Syarat yang diminta Demokrat tersebut sebenarnya beberapa telah diakomodir di RUU. Akan tetapi ada syarat yang bagi pendukung pilkada langsung perlu dipertimbangkan lagi yakni tentang tanggung jawab calon kepala daerah jika terjadi kerusuhan dan syarat uji kelayakan publik. Silang pendapatpun terjadi mengenai syarat tersebut sampai rapat diskors dan beralih ke forum lobi. 
Ketika rapat dimulai lagi sekitar pukul 23.30 WIB, Priyo Budi Santoso dari fraksi Golkar selaku pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada Demokrat untuk menyampaikan pandangan. Benny K. Harman menegaskan kembali pandangan fraksinya tentang perlunya opsi pilkada langsung dengan perbaikan. Nah, di proses inilah awal terjadinya keganjilan. Ketika menyampaikan pandangan partainya tersebut, ada ekspresi kekagetan yang tertangkap dari Benny K. Harman ketika terdengar suara dukungan yang mengemuka agar pilkada langsung dengan perbaikan dimasukkan secara utuh ke dalam opsi. Kegaduhan kembali terjadi, hujan interupsi datang bertubi-tubi hingga suatu ketika entah sengaja atau tidak tiba-tiba Priyo Budi Santoso mengetok palu satu kali yang artinya menyetujui pelaksanaan voting dua opsi padahal belum ada kesepakatan pasti. Suasana menjadi tambah gaduh dan rapat pun kembali diskors pukul 00.25 WIB.
Beberapa menit kemudian rapat kembali dimulai. Sekali lagi Priyo memberikan kesempatan kepada Demokrat untuk memberikan pernyataan. Inilah puncak kontroversi sikap Demokrat terjadi. Secara tak terduga, saat PDI Perjuangan, Hanura, PKB mendukung opsi sepenuhnya dari Demokrat justru Benny K. Harman menyatakan walk out (wo) dari jalannya sidang. Padahal sebenarnya masih ada kemungkinan pembahasan agar opsi Demokrat dapat menjadi bagian dari opsi yang telah ada lagipula belum ada keputusan dari pimpinan rapat untuk lanjut proses voting. Tentu saja sikap Demokrat tersebut mendapat reaksi beranekaragam mulai cemoohan dari pendukung pilkada langsung dan sebaliknya applause dari koalisi Merah Putih. Secara krusial keputusan walk out Demokrat menyudahi pembahasan opsi ketiga menjadi tetap dua opsi dan sudah pasti hasil voting akan memenangkan RUU pilkada tidak langsung dan faktanya memang demikian.
Bagi penulis sikap yang diambil Demokrat adalah ketidakkonsistenan dan bentuk kepura-puraan. Politik memang tidak lepas dari pencitraan tetapi jika memang Demokrat ingin melakukan politik pencitraan hendaknya lakukanlah secara elegan. Tontonan yang ditunjukkan Demokrat justru semakin memperkuat dugaan bahwa memang Demokrat pada dasarnya menyetujui pilkada tidak langsung seperti refleksi dari sikap pemerintah sejak awal. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang akan mengakhiri masa jabatan yang seharusnya bisa ditutup dengan tinta emas justru telah meninggalkan noda. Sungguh ironi, SBY yang dipilih oleh rakyat secara langsung malah menjadi bagian dari pihak yang memutus hak pilih rakyat. 
Penulis sebagai bagian dari rakyat Indonesia sangat menyayangkan hasil RUU Pilkada tidak langsung ini terutama kepada pihak legislatif yang menyetujuinya. Kedaulatan rakyat telah diamputasi, hak pilih yang hanya dilakukan 5 tahun sekali telah dirampas oleh mereka yang mengaku wakil rakyat. Hasil RUU Pilkada ini pasti akan mendapatkan tentangan sebagian besar elemen masyarakat yang peduli tentang pentingnya demokrasi yang sehat.  Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) sebagai wadah dari kepala daerah pun ikut mendukung penyelenggaraan pilkada langsung dan rencananya akan mengajukan judicial review ke MK. Semoga saja apa yang dilakukan oleh Apeksi menperoleh hasil yang positif. Kita sebagai rakyat Indonesia juga bisa ikut melawan dengan cara tidak memilih wakil-wakil rakyat dari partai politik yang secara jelas tidak berpihak kepada rakyat. Kedaulatan rakyat harus tetap ditegakkan. Jangan sampai demokrasi justru mundur ke belakang.